Mari kita simak dua kisah dibawah ini.
Pada 1993, Pengadilan Negeri Otero menjatuhkan hukuman 275 tahun penjara kepada Pastor David Holley. Dia terbukti bersalah atas tujuh kasus sodomi dan satu kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Menurut pengakuan Pastor David, masih ada puluhan korbannya yang lain yang tak mau bersuara di luar sana.
David Holley telah meninggal tujuh tahun lalu dalam penjara, tapi luka yang ditinggalkan pada korban-korbannya tak pernah benar-benar sembuh.
Gara-gara perbuatan Pastor David, Phil, salah seorang korban, kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan dan gereja. Setelah menjalin hubungan dengan sesama korban, Phil memutuskan mendirikan jaringan korban dan penyintas kekerasan seksual oleh pastor atau Survivors Network of those Abused by Priests (SNAP) di New England.
Phil adalah salah satu narasumber utama penelusuran Spotlight, tim investigasi harian Boston Globe, soal kelakuan tak pantas pastor-pastor di lingkungan gereja Diosis Boston. Tim Spotlight menemukan, lebih dari 70 pastor di Diosis Boston pernah terlibat dalam penganiayaan atau kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Ada lagi cerita lain tentang Daniel (bukan nama sebenarnya)
Seorang yang bekerja sebagai terapis di penjara, bertemu dengan Daniel dan melakukan konseling. Dari sesi konselingnya bersama Daniel, terapis menemukan fakta bahwa pelaku pemerkosaan atau pelecehan seksual pada anak tidak selalu bersembunyi di semak-semak, atau menyerang secara tiba-tiba. Justru sebaliknya, pelaku terlebih dahulu berteman dan membangun kepercayaan korbannya, sehingga korban bersedia melakukan apa saja yang diinginkan si pelaku.
Daniel menceritakan pada sang terapis, pertama kali dia melakukan pelecehan seksual saat dirinya berusia 7 tahun. Di sana ia berhasil membujuk seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke dalam gudang bersamanya, kemudian menyuruh anak tersebut untuk membuka celananya di depannya. Daniel mengaku, meski tidak melakukan kontak fisik. Dirinya merasakan kenikmatan saat melihat anak kecil itu membuka celana, dia merasa senang membuat anak itu telanjang di hadapannya. Tapi tidak semenyenangkan saat anak itu pertama kali berusaha membuka celana.
Latar belakang keluarga Daniel termasuk normal, dia adalah bungsu dari tiga bersaudara. Berasal dari keluarga menengah pekerja, Daniel tak pernah mengalami kekerasan seksual.
Keluarga Daniel termasuk dingin dan jarang menampakkan kasih sayang, pola komunikasi mereka berpusat pada latihan intelegensi dan tata krama. Tidak ada sesi curhat, maupun berbagi perasaan dan perhatian yang seharusnya dilakukan oleh sebuah keluarga.
Saat Daniel memasuki usia sekolah, ia terkejut dengan menghadapi dunia yang sama sekali berbeda dengan yang selama ini dikenalnya. Daniel menemukan kenikmatan dalam masturbasi.
Daniel melihat orang lain sangat berbeda dengan dirinya, namun Daniel juga menikmati saat ia bisa bermasturbasi bersama anak lelaki lain. Saat sedang bermasturbasi sambil bercumbu dengan temannya, ia tertangkap basah dan dilaporkan ke orangtuanya.
Ibu Daniel merasa sangat marah, dan untuk pertamakalinya Daniel melihat ibunya menampakkan emosi. Ibu Daniel membawa Daniel ke kamar mandi dan berusaha membasuh tubuh Daniel dari ‘kotoran’. “Hanya orang-orang miring, sakit dan jahat yang melakukan hal-hal seperti itu!” teriak ibunya.
Daniel mempelajari hal-hal yang membuat targetnya merasa rapuh, sehingga mereka selalu datang pada Daniel untuk curhat dan mengeluh mengenai masalah keluarga mereka. Dalam sesi curhat tersebutlah, Daniel melakukan aksi kejahatannya, dengan terlebih dahulu membujuk si anak agar mau melakukan hal tersebut dengannya.
Daniel tertangkap setelah seorang ibu melihat foto polaroid anaknya dalam posisi berhubungan seksual dengannya dan melaporkannya, setelah itu korban-korban lain juga datang untuk mengajukan tuntutan, Daniel dinyatakan bersalah dengan hukuman berurut tanpa ada pembebasan bersyarat.
_________
Salah satu tulisan di atas adalah sepenggal kisah tentang penyimpangan fitrah seksualitas di kalangan para agamawan. Mereka adalah orang yang sesungguhnya ingin hidup sepenuhnya melayani Tuhan pada awalnya, namun karena menyalahi fitrahnya maka kasus Pedofilia marak di kalangan rohaniawan ini.
Penyimpangan fitrah seksualitas diakibatkan karena fitrah ini tidak mendapat saluran yang benar. Pola hidup yang mengharamkan menikah atau sebaliknya pola hidup yang mengumbar seks, sama sama melahirkan penyimpangan seksual, diantaranya adalah pedofil, atau pelecehan seksual pada anak. Mengapa anak? Korban penyimpangan seksual yang paling rentan dan mudah tentu makhluk yang paling lemah dan mudah diperdaya yaitu anak anak.
Mohon maaf, bukan hanya di Gereja saja, kasus penyimpangan seksualitas berupa pelecehan seksual atau sodomi juga terjadi di boarding school, atau sekolah berasrama atau pesantren.
Anak anak yang dikirim ke asrama sebelum aqil baligh atau dikirim terlalu cepat sebelum fitrah seksualitasnya tumbuh paripurna, sangat rentan mengalami penyimpangan seksualitas. Perilaku penyimpangan fitrah seksualitas ini, nampak dari para senior yang baru memiliki “kekuasaan” untuk memaksa para junior nya yang menjadi tanggungjawabnya.
Kasus Sodomi para senior kepada junior terjadi di Pesantren dengan istilah Mairil, namun memang kasusnya disimpan ke bawah karpet rapat rapat, karena nama baik. Para Junior yang menjadi korban jelas tidak berani melapor.
Di sisi lain, para Junior memiliki masalah pada fitrah individualitasnya yang juga belum tumbuh, sehingga mereka rentan dibully dan tidak berdaya dipaksa.
Lalu bagaimana agar anak anak kita terhindar dari kasus penyimpangan fitrah seksualitas ini baik sebagai pelaku maupun sebagai korban?
Tentu saja fittah seksualitas dan fitrah individualitas mereka harus dididik dan ditumbuhkan dengan sebaik baiknya melalui kelekatan yang mendalam bersama para orangtuanya sejak tahapan usia 0- Aqilbaligh di usia 15 tahun.
Kelekatan yang baik dari ayah dan ibu inilah yang kelak menumbuhkan fitrah seksualitasnya dengan paripurna dan berjalan sebagaimana perannya yaitu menjadi lelaki dan ayah sejati bagi anak lelaki, serta menjadi perempuan sejati dan ibu sejati bagi anak perempuan. Fitrah seksualitas yang tumbuh baik sesuai tahapannya dipandu agama yang fitri akan membuat mereka kelak beradab pada pasangan dan keturunannya.
Kepercayaan orangtua dengan memberi ruang bagi ego anaknya ketika anak anak, juga peran strategis ayah yang penting memberikan suplai “ego” kelak akan menumbuhkan fitrah individualitasnya dan fitrah sosialitasnya, yang memberikan kemampuan yang baik dalam kepercayaan diri dan bersosial di masyarakatnya untuk tidak mudah menjadi korban bully maupun pelecehan seksual.
Jika fitrah ananda tumbuh paripurna, maka mereka kelak seperti ikan hidup di laut. Lihatlah, selama bertahun tahun asinnya air laut tak mampu mengasinkan ikan hidup, karena mereka hidup. Namun ikan mati akan segera menjadi ikan asin dalam rendaman air garam dalam beberapa saat.
Tentu saja pada akhirnya kita serahkan semuanya kepada Allah SWT, sebagaimana kita yakin untuk menumbuhkan karunia Allah berupa fitrah ananda.
Sama halnya dengan kasus Daniel, Kisah Daniel, menjadi peringatan bagi semua orangtua, agar selalu menjadi teman dekat bagi anak. Bila kita memiliki keterbukaan pada anak, tentunya dia akan selalu menceritakan apa yang terjadi padanya di luar rumah, termasuk bila ada orang yang berlaku tak senonoh padanya.
Relasi antara anak dan orangtua seharusnya bisa menjadi seperti sahabat, anak seringkali mencari teman bicara di luar karena merasa tidak mempercayai orangtuanya. Karena itu, berusahalah mendengarkan anak.
Sekonyol apapun cerita mereka, meskipun rahasia yang mereka ceritakan sangat sepele, tetap dengarkan dia. Dari hal-hal sepele tersebut, anak akan mempercayakan rahasia besarnya pada kita dan akan memudahkan kita memberi penjagaan mental saat anak tidak berada di dekat kita.
Bangun kepercayaan dengan anak, beri ia perhatian yang cukup sehingga ia tidak akan mencari perhatian di tempat lain. Siapapun bisa menjadi korban, orang di sekitar kita bisa menjadi pelakunya.
Namun Anda tak perlu menjadi paranoid, tetap awasi anak namun tidak mengekangnya. Beri ia pengertian dan pendidikan seksual sejak dini, bahwa tidak ada siapapun yang boleh menyentuh bagian intim tubuhnya dengan alasan apapun.
David Holley telah meninggal tujuh tahun lalu dalam penjara, tapi luka yang ditinggalkan pada korban-korbannya tak pernah benar-benar sembuh.
Gara-gara perbuatan Pastor David, Phil, salah seorang korban, kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan dan gereja. Setelah menjalin hubungan dengan sesama korban, Phil memutuskan mendirikan jaringan korban dan penyintas kekerasan seksual oleh pastor atau Survivors Network of those Abused by Priests (SNAP) di New England.
Phil adalah salah satu narasumber utama penelusuran Spotlight, tim investigasi harian Boston Globe, soal kelakuan tak pantas pastor-pastor di lingkungan gereja Diosis Boston. Tim Spotlight menemukan, lebih dari 70 pastor di Diosis Boston pernah terlibat dalam penganiayaan atau kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Ada lagi cerita lain tentang Daniel (bukan nama sebenarnya)
Seorang yang bekerja sebagai terapis di penjara, bertemu dengan Daniel dan melakukan konseling. Dari sesi konselingnya bersama Daniel, terapis menemukan fakta bahwa pelaku pemerkosaan atau pelecehan seksual pada anak tidak selalu bersembunyi di semak-semak, atau menyerang secara tiba-tiba. Justru sebaliknya, pelaku terlebih dahulu berteman dan membangun kepercayaan korbannya, sehingga korban bersedia melakukan apa saja yang diinginkan si pelaku.
Daniel menceritakan pada sang terapis, pertama kali dia melakukan pelecehan seksual saat dirinya berusia 7 tahun. Di sana ia berhasil membujuk seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke dalam gudang bersamanya, kemudian menyuruh anak tersebut untuk membuka celananya di depannya. Daniel mengaku, meski tidak melakukan kontak fisik. Dirinya merasakan kenikmatan saat melihat anak kecil itu membuka celana, dia merasa senang membuat anak itu telanjang di hadapannya. Tapi tidak semenyenangkan saat anak itu pertama kali berusaha membuka celana.
Latar belakang keluarga Daniel termasuk normal, dia adalah bungsu dari tiga bersaudara. Berasal dari keluarga menengah pekerja, Daniel tak pernah mengalami kekerasan seksual.
Keluarga Daniel termasuk dingin dan jarang menampakkan kasih sayang, pola komunikasi mereka berpusat pada latihan intelegensi dan tata krama. Tidak ada sesi curhat, maupun berbagi perasaan dan perhatian yang seharusnya dilakukan oleh sebuah keluarga.
Saat Daniel memasuki usia sekolah, ia terkejut dengan menghadapi dunia yang sama sekali berbeda dengan yang selama ini dikenalnya. Daniel menemukan kenikmatan dalam masturbasi.
Daniel melihat orang lain sangat berbeda dengan dirinya, namun Daniel juga menikmati saat ia bisa bermasturbasi bersama anak lelaki lain. Saat sedang bermasturbasi sambil bercumbu dengan temannya, ia tertangkap basah dan dilaporkan ke orangtuanya.
Ibu Daniel merasa sangat marah, dan untuk pertamakalinya Daniel melihat ibunya menampakkan emosi. Ibu Daniel membawa Daniel ke kamar mandi dan berusaha membasuh tubuh Daniel dari ‘kotoran’. “Hanya orang-orang miring, sakit dan jahat yang melakukan hal-hal seperti itu!” teriak ibunya.
Daniel mempelajari hal-hal yang membuat targetnya merasa rapuh, sehingga mereka selalu datang pada Daniel untuk curhat dan mengeluh mengenai masalah keluarga mereka. Dalam sesi curhat tersebutlah, Daniel melakukan aksi kejahatannya, dengan terlebih dahulu membujuk si anak agar mau melakukan hal tersebut dengannya.
Daniel tertangkap setelah seorang ibu melihat foto polaroid anaknya dalam posisi berhubungan seksual dengannya dan melaporkannya, setelah itu korban-korban lain juga datang untuk mengajukan tuntutan, Daniel dinyatakan bersalah dengan hukuman berurut tanpa ada pembebasan bersyarat.
_________
Salah satu tulisan di atas adalah sepenggal kisah tentang penyimpangan fitrah seksualitas di kalangan para agamawan. Mereka adalah orang yang sesungguhnya ingin hidup sepenuhnya melayani Tuhan pada awalnya, namun karena menyalahi fitrahnya maka kasus Pedofilia marak di kalangan rohaniawan ini.
Penyimpangan fitrah seksualitas diakibatkan karena fitrah ini tidak mendapat saluran yang benar. Pola hidup yang mengharamkan menikah atau sebaliknya pola hidup yang mengumbar seks, sama sama melahirkan penyimpangan seksual, diantaranya adalah pedofil, atau pelecehan seksual pada anak. Mengapa anak? Korban penyimpangan seksual yang paling rentan dan mudah tentu makhluk yang paling lemah dan mudah diperdaya yaitu anak anak.
Mohon maaf, bukan hanya di Gereja saja, kasus penyimpangan seksualitas berupa pelecehan seksual atau sodomi juga terjadi di boarding school, atau sekolah berasrama atau pesantren.
Anak anak yang dikirim ke asrama sebelum aqil baligh atau dikirim terlalu cepat sebelum fitrah seksualitasnya tumbuh paripurna, sangat rentan mengalami penyimpangan seksualitas. Perilaku penyimpangan fitrah seksualitas ini, nampak dari para senior yang baru memiliki “kekuasaan” untuk memaksa para junior nya yang menjadi tanggungjawabnya.
Kasus Sodomi para senior kepada junior terjadi di Pesantren dengan istilah Mairil, namun memang kasusnya disimpan ke bawah karpet rapat rapat, karena nama baik. Para Junior yang menjadi korban jelas tidak berani melapor.
Di sisi lain, para Junior memiliki masalah pada fitrah individualitasnya yang juga belum tumbuh, sehingga mereka rentan dibully dan tidak berdaya dipaksa.
Lalu bagaimana agar anak anak kita terhindar dari kasus penyimpangan fitrah seksualitas ini baik sebagai pelaku maupun sebagai korban?
Tentu saja fittah seksualitas dan fitrah individualitas mereka harus dididik dan ditumbuhkan dengan sebaik baiknya melalui kelekatan yang mendalam bersama para orangtuanya sejak tahapan usia 0- Aqilbaligh di usia 15 tahun.
Kepercayaan orangtua dengan memberi ruang bagi ego anaknya ketika anak anak, juga peran strategis ayah yang penting memberikan suplai “ego” kelak akan menumbuhkan fitrah individualitasnya dan fitrah sosialitasnya, yang memberikan kemampuan yang baik dalam kepercayaan diri dan bersosial di masyarakatnya untuk tidak mudah menjadi korban bully maupun pelecehan seksual.
Jika fitrah ananda tumbuh paripurna, maka mereka kelak seperti ikan hidup di laut. Lihatlah, selama bertahun tahun asinnya air laut tak mampu mengasinkan ikan hidup, karena mereka hidup. Namun ikan mati akan segera menjadi ikan asin dalam rendaman air garam dalam beberapa saat.
Tentu saja pada akhirnya kita serahkan semuanya kepada Allah SWT, sebagaimana kita yakin untuk menumbuhkan karunia Allah berupa fitrah ananda.
Sama halnya dengan kasus Daniel, Kisah Daniel, menjadi peringatan bagi semua orangtua, agar selalu menjadi teman dekat bagi anak. Bila kita memiliki keterbukaan pada anak, tentunya dia akan selalu menceritakan apa yang terjadi padanya di luar rumah, termasuk bila ada orang yang berlaku tak senonoh padanya.
Relasi antara anak dan orangtua seharusnya bisa menjadi seperti sahabat, anak seringkali mencari teman bicara di luar karena merasa tidak mempercayai orangtuanya. Karena itu, berusahalah mendengarkan anak.
Sekonyol apapun cerita mereka, meskipun rahasia yang mereka ceritakan sangat sepele, tetap dengarkan dia. Dari hal-hal sepele tersebut, anak akan mempercayakan rahasia besarnya pada kita dan akan memudahkan kita memberi penjagaan mental saat anak tidak berada di dekat kita.
Bangun kepercayaan dengan anak, beri ia perhatian yang cukup sehingga ia tidak akan mencari perhatian di tempat lain. Siapapun bisa menjadi korban, orang di sekitar kita bisa menjadi pelakunya.
Namun Anda tak perlu menjadi paranoid, tetap awasi anak namun tidak mengekangnya. Beri ia pengertian dan pendidikan seksual sejak dini, bahwa tidak ada siapapun yang boleh menyentuh bagian intim tubuhnya dengan alasan apapun.
Yuk tetap rileks dan optimis menumbuhkan fitrah seksualitas anak-anak kita.#HariKe-11
#GameLevel11
#Tantangan10Hari
#KuliahBunsayIIP
#BundaSayang
#IbuProfesional
#FitrahSeksualitas
0 comments:
Post a Comment